27 Maret 2016 0 komentar

Puisi "Cinta Dan Jemari". Karya : Lia Awalia

CINTA DAN JEMARI 

Cinta yang kan mengikat jemari
Jemari yang akan menguatkan cinta
Jemari yang kan mengeratkan cinta
Cinta yang kan menyatukan jemari
Genggaman jemari yang menjadikan cinta selalu bersemi
Itulah keduanya.....

                                          Lia Awaliyah
0 komentar

Puisi "LELAHKU". Karya : Fauzul Afa

LELAHKU

Kau yang tak pernah mengerti artinya cinta dan kesetiaan
Semua pengorbananku kau anggap tak berguna
Diam dan membisu, haruskah seperti itu?
Menjadikanku seperti batu yang tenggelam kedasar lautan

                            Haruskah aku berlari
                            Untukmu yang tidak ingin peduli sama sekali
                            Haruskah aku mati
                            Untuk rasa sakit yang tak tertahankan ini

Lelahku sudah mencapai puncak..
Saat aku mulai melangkah
Yang aku rasa hanya tumpahan kepedihan
Itu membuatku takut, takut akan kehilangan sesuatu

                            Airmatapun seperti membisu tak berguna
                            Seakan tuli mendengar tangisku
                            Seakan tak peduli seberapa menderita nya diriku
                            Semua hanya ada duka dan derita

Tidakkah engkau tau..
Aku sekarat karena menanam cinta untukmu
Kaupun memberikanku cinta
Cinta yang akan meracuniku hingga lenyap

                            Aku lelah dengan tingkahmu
                            Dengan cintamu yang membunuhku secara perlahan
                            Dengan rasa yang kusimpan hingga membatu
                            Ingin rasanya kuakhiri ini semua

Ini adalah pilihanku untuk mengakhiri
Ini adalah hal yang wajib kamu tahu
Ini bukan rencanaku
Namun ini jalan hidupku

                             Pergilah, bawa semua rasa egomu dariku
                             Ini adalah jalanku untuk mengakhiri
                             Jalan yang terbaik dari Tuhan
                             Cinta, sampaikan penyesalanku karena pernah mencintai nya
                                        -FAUZUL AFA
10 Maret 2016 0 komentar

Cerpen : Sikecil Aisah (Oleh: Fauzul Afa)


Sikecil Aisah
(Oleh: Fauzul Afa)

       Aku terlahir kedunia sebagai anak yang berkecukupan dan selalu bersyukur atas apa yang tuhan berikan padaku, akan tetapi ada banyak hal yang masih belum ku rasakan, maklum saja begitu, karena aku ini masih muda dan minim akan pengalaman diluar sana. Aku ini seorang mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu komunikasi disalah satu Universitas ternama yang ada di Indonesia. Aku terbilang seorang pria yang beruntung memiliki keluarga yang mencukupi sehingga aku mampu memasuki dunia pendidikan yang lebih baik. Tidak ada yang bisa dibanggakan, namun tidak berarti tujuanku tidak ingin membanggakan, bagiku membanggakan Orangtua adalah prioritas utama, mereka juga salah satu semangat yang ku miliki saat aku berada pada titik kesedihan yang mendalam. Bukan ciri khasku berbagi semua pilu. Aku bahkan lebih suka memendam dibanding mengumbar. Pernah, ingin sekali ku berikan kalung untuk ibu sebagai hadiah untuk ulang tahunnya. Aku pun mencoba menabung selama satu bulan untuk memenuhi keinginan tersebut. Maka mengurangi pengeluaran adalah jalan terbaik untuk menambah pemasukan. Bahkan perlu mati-matian berjuang menahan lapar demi tujuan itu. Aku memang begitu jika sudah menginginkan sesuatu. Terus terang, aku menderita, tapi derita itu hanya sementara membayangkan sesosok Ibu yang luar biasa sabar menghadapi tingkah anak nya yang menyusahkan. Tetapi itu dulu, saat perusahaan ayahku sedang proses menuju kesuksesan
      Seringkali aku melihat orang yang berada dibawah dan diatas, tapi yang membuatku sangat tertarik adalah orang-orang yang berada dibawahku. Bagiku mereka adalah sesosok yang ingin berjuang melawan keras nya hidup, walaupun mereka sendiri masih mencoba, dan itu memerlukan proses yang amat panjang. Terlebih lagi mereka dari keluarga yang serba kekurangan, Pernah Suatu ketika saat pulang kuliah aku melihat seorang anak perempuan yang menjual gorengan keliling mencari pembeli, Dulu setiap melihat anak-anak yang menjual seperti itu pikiranku selalu saja digerogoti oleh sebuah pertanyaan umum. Mengapa mereka melakukan hal itu? Bukankah diumur yang muda seharus nya mereka menimba ilmu?
      Aku memutuskan untuk memanggilnya dengan niat ingin membeli gorengan nya. Tapi sungguh itu bukanlah niat yang sebenarnya. Sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi, aku diajarkan bagaimana cara berkomunikasi dengan baik terhadap khalayak banyak orang maupun terhadap individu, dan dengan rasa penasaran yang membesar pada hatiku ini, kumulai dengan melempar tanya terhadap anak yang menjual gorengan keliling itu..
“Kesini dik, berapa harga bakwannya?” aku mulai bertanya. “Seribu rupiah Kak.” dia menjawab sebagaimana mestinya percakapan antara penjual dan pembeli. Aku pun mengambilnya dan meminta agar dia bersedia duduk menemaniku menghabiskan bakwan yang kuambil dari nampan nya. Di sinilah tujuanku, sengaja membuatnya dekat agar aku bisa memberikan pertanyaan yang ingin sekali ku temukan jawabannya, Aku lanjutkan dengan bertanya “Sudah makan?” tanyaku dengan penasaran
“Belum Kak, uangku belum terkumpul jadi aku masih belum dapat makan” jawab nya dengan muka lesuh karena kelelahan membawa nampan yang berisi gorengan terlebih lagi ini sudah sore membayangkan sudah dari jam brapa anak ini belum makan, dan kulihat nampan itu memang masih berisi banyak dengan gorengan. Dengan rasa iba, akupun menyuruh nya untuk menunggu “Tunggu disini yah, jangan kemana-mana kakak mau kewarung nasi itu, nanti kalau kabur kakak gak bisa bayar bakwan nya loh nanti bayar nya kesiapa?” pintaku dengan sedikit nada humor, ia pun mengiyakan ku dan melempar senyum nya padaku. Kubeli sebungkus nasi dengan memilih ayam bakar sebagai lauk nya dan tidak lupa pula dengan minum nya, setelah pesanan nasiku selesai dibuat, aku kembali pada anak itu dan menyuruh nya untuk memakan nasi yang kubeli tadi “belum makan kan? Nih, tadi kakak beli nasi di rumah makan padang, kamukan belum makan jadi kakak beliin biar semangat angkat nampan nya” aku sodorkan nasi itu pada nya, pada awal nya dia menolak karena rasa tidak enak tapi perutnya berkata lain dan pada akhirnya dia memakan nya juga dengan lahap, melihat pemandangan itu membuatku bahagia, terlebih lagi anak itu memakan nya sampai tak ada nasi yang tersisa.
       Anak itupun menghabisi nasi yang kubeli, dan ia semakin terasa dekat denganku. Itu membuatku senang. Aku masih belum mengetahui siapa nama adik ini, dengan rasa penasaran kutanya nama nya “Nama adik siapa?” tanyaku terhadap adik ini. “Namaku Aisah kak” jawab nya dengan senyuman hangat “Aisah masih sekolah?” tanyaku dengan penasaran “Sudah tidak lagi kak.” ekspresinya seakan tidak suka dengan pertanyaan itu “Terus, kenapa harus putus sekolah?” aku belum puas dengan jawaban itu. “Sebelumnya sih aku sekolah kak, sekarang jika aku masih sekolah harus nya aku sudah kelas 4 SD..” Dia mulai terbuka padaku. “Terus, kenapa harus putus sekolah?”, “Keluargaku tak mampu untuk menyekolahkan ku kak, ayahku sudah meninggal 3 tahun lalu jadi tidak ada orang yang membanting tulang sekarang, Akhirnya aku menjual gorengan untuk hidup berdua bersama ibu” jawab nya dengan nada yang sedih seakan inilah takdir yang diberi tuhan untuk nya. “Ibu gak mau bantu kamu jualan gorengan?” tanyaku penasaran, “Ibu lagi sakit sakitan kak ibu gak boleh kecapean, nanti kalau capek penyakit nya malah tambah parah kak, Aisah sayang sama ibu, jadi gak tega kalau liat ibu sakit sakitan kak” Kali ini dia benar-benar tidak ragu bercerita.
      Seketika hatiku tersentak mengetahui kisah itu. Aku bahkan sadar dalam sekejap, aku bukan orang yang paling menderita. Di luar sana, sangat banyak yang ingin bersekolah tapi mereka terbatas akan biaya. Aku bersyukur dengan semua yang ku miliki saat ini
Keluarga, teman, cinta, dan kasih sayang dari mereka adalah sebuah anugerah yang harus ku jaga sampai akhir hayat. Perbincanganku dengan Aisah membuatku mendapat pengalaman yang amat luar biasa berharga
      Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 15.17 sore, Aisahpun ingin pergi melanjutkan dagangan nya yang masih banyak, melihat itu membuatku tak tega memandang wajah Aisah yang lelah karena berdagang sejak pagi tadi dan masih banyak gorengan yang belum terjual. Dengan inisiatifku, aku menyuruh nya untuk membungkus semua gorengan nya “Aisah, gorengan nya bungkus aja yah semua nya, kakak mau beli semua gorengan Aisah” pintaku pada Aisah, “Beneran kak?” muka nya kembali cerah dan senang mendengar pernyataanku yang ingin membeli semua gorengan nya. “Beneran dong” jawabku dengan melempar senyuman hangat padanya. Langsung saja Aisah mengambil plastik besar dan membungkus semua gorengan nya, dan sekrang nampan yang terlihat penuh menjadi kosong tak berisi “Ini kak, semua nya jadi Rp.24.000 kak” ia menyodorkan plastik yang penuh gorengan itu padaku.
      Namun bukan uang Rp.24.000 yang aku berikan, dengan sungguh hati yang ikhlas kuberikan uang Rp.300.000 padanya dan kuberikan kartu namaku. “Ini kakak mau bagi rezeki sama Aisah, ini kartu nama kakak kalau Aisah minta tolong, Aisah tinggal hubungin no yang ada di kartu nama itu aja yah” Dengan tangan gemetar, Aisahpun mengambil uang dan kartu namaku, kulihat matanya yang mengalir air mata kebahagiaan. Aku peluk Aisah ia pun menyambut pelukan ku, dan aku katakan padanya “Aisah anak baik, rawat ibu Aisah baik-baik yah, terus jangan lupa buat hubungin kakak”
“Terimakasih kak, terimakasih..”
 
;