Sikecil Aisah
(Oleh: Fauzul Afa)
Aku terlahir kedunia sebagai anak yang berkecukupan
dan selalu bersyukur atas apa yang tuhan berikan padaku, akan tetapi ada banyak
hal yang masih belum ku rasakan, maklum saja begitu, karena aku ini masih muda
dan minim akan pengalaman diluar sana. Aku ini seorang mahasiswa yang mengambil
jurusan ilmu komunikasi disalah satu Universitas ternama yang ada di Indonesia.
Aku terbilang seorang pria yang beruntung memiliki keluarga yang mencukupi
sehingga aku mampu memasuki dunia pendidikan yang lebih baik. Tidak ada yang
bisa dibanggakan, namun tidak berarti tujuanku tidak ingin membanggakan, bagiku
membanggakan Orangtua adalah prioritas utama, mereka juga salah satu semangat
yang ku miliki saat aku berada pada titik kesedihan yang mendalam. Bukan ciri
khasku berbagi semua pilu. Aku bahkan lebih suka memendam dibanding mengumbar.
Pernah, ingin sekali ku berikan kalung untuk ibu sebagai hadiah untuk ulang
tahunnya. Aku pun mencoba menabung selama satu bulan untuk memenuhi keinginan
tersebut. Maka mengurangi pengeluaran adalah jalan terbaik untuk menambah
pemasukan. Bahkan perlu mati-matian berjuang menahan lapar demi tujuan itu. Aku
memang begitu jika sudah menginginkan sesuatu. Terus terang, aku menderita,
tapi derita itu hanya sementara membayangkan sesosok Ibu yang luar biasa sabar
menghadapi tingkah anak nya yang menyusahkan. Tetapi itu dulu, saat perusahaan
ayahku sedang proses menuju kesuksesan
Seringkali aku melihat orang yang berada dibawah dan
diatas, tapi yang membuatku sangat tertarik adalah orang-orang yang berada
dibawahku. Bagiku mereka adalah sesosok yang ingin berjuang melawan keras nya
hidup, walaupun mereka sendiri masih mencoba, dan itu memerlukan proses yang
amat panjang. Terlebih lagi mereka dari keluarga yang serba kekurangan, Pernah
Suatu ketika saat pulang kuliah aku melihat seorang anak perempuan yang menjual
gorengan keliling mencari pembeli, Dulu setiap melihat anak-anak yang menjual
seperti itu pikiranku selalu saja digerogoti oleh sebuah pertanyaan umum.
Mengapa mereka melakukan hal itu? Bukankah diumur yang muda seharus nya mereka
menimba ilmu?
Aku memutuskan untuk memanggilnya dengan niat ingin
membeli gorengan nya. Tapi sungguh itu bukanlah niat yang sebenarnya. Sebagai
mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi, aku diajarkan bagaimana cara
berkomunikasi dengan baik terhadap khalayak banyak orang maupun terhadap
individu, dan dengan rasa penasaran yang membesar pada hatiku ini, kumulai
dengan melempar tanya terhadap anak yang menjual gorengan keliling itu..
“Kesini dik, berapa harga bakwannya?” aku mulai
bertanya. “Seribu rupiah Kak.” dia menjawab sebagaimana
mestinya percakapan antara penjual dan pembeli. Aku pun mengambilnya dan
meminta agar dia bersedia duduk menemaniku menghabiskan bakwan yang kuambil
dari nampan nya. Di sinilah tujuanku, sengaja membuatnya dekat agar aku bisa
memberikan pertanyaan yang ingin sekali ku temukan jawabannya, Aku lanjutkan dengan bertanya “Sudah makan?” tanyaku
dengan penasaran
“Belum Kak, uangku belum terkumpul jadi aku masih
belum dapat makan” jawab nya dengan muka lesuh karena kelelahan membawa nampan
yang berisi gorengan terlebih lagi ini sudah sore membayangkan sudah dari jam
brapa anak ini belum makan, dan kulihat nampan itu memang masih berisi banyak
dengan gorengan. Dengan rasa iba, akupun menyuruh nya untuk menunggu “Tunggu
disini yah, jangan kemana-mana kakak mau kewarung nasi itu, nanti kalau kabur
kakak gak bisa bayar bakwan nya loh nanti bayar nya kesiapa?” pintaku dengan
sedikit nada humor, ia pun mengiyakan ku dan melempar senyum nya padaku. Kubeli
sebungkus nasi dengan memilih ayam bakar sebagai lauk nya dan tidak lupa pula
dengan minum nya, setelah pesanan nasiku selesai dibuat, aku kembali pada anak
itu dan menyuruh nya untuk memakan nasi yang kubeli tadi “belum makan kan? Nih,
tadi kakak beli nasi di rumah makan padang, kamukan belum makan jadi kakak
beliin biar semangat angkat nampan nya” aku sodorkan nasi itu pada nya, pada
awal nya dia menolak karena rasa tidak enak tapi perutnya berkata lain dan pada
akhirnya dia memakan nya juga dengan lahap, melihat pemandangan itu membuatku
bahagia, terlebih lagi anak itu memakan nya sampai tak ada nasi yang tersisa.
Anak itupun menghabisi nasi yang kubeli, dan ia
semakin terasa dekat denganku. Itu membuatku senang. Aku masih belum mengetahui
siapa nama adik ini, dengan rasa penasaran kutanya nama nya “Nama adik siapa?”
tanyaku terhadap adik ini. “Namaku Aisah kak” jawab nya dengan senyuman hangat “Aisah masih sekolah?” tanyaku dengan penasaran
“Sudah tidak lagi kak.” ekspresinya seakan tidak suka dengan pertanyaan itu “Terus, kenapa harus putus sekolah?” aku belum puas
dengan jawaban itu. “Sebelumnya sih aku sekolah kak, sekarang jika aku masih
sekolah harus nya aku sudah kelas 4 SD..” Dia mulai terbuka padaku. “Terus,
kenapa harus putus sekolah?”, “Keluargaku tak mampu untuk menyekolahkan ku kak,
ayahku sudah meninggal 3 tahun lalu jadi tidak ada orang yang membanting tulang
sekarang, Akhirnya aku menjual gorengan untuk hidup berdua bersama ibu” jawab
nya dengan nada yang sedih seakan inilah takdir yang diberi tuhan untuk nya.
“Ibu gak mau bantu kamu jualan gorengan?” tanyaku penasaran, “Ibu lagi sakit sakitan kak ibu gak boleh kecapean,
nanti kalau capek penyakit nya malah tambah parah kak, Aisah sayang sama ibu,
jadi gak tega kalau liat ibu sakit sakitan kak” Kali ini dia benar-benar tidak
ragu bercerita.
Seketika hatiku tersentak mengetahui kisah itu. Aku
bahkan sadar dalam sekejap, aku bukan orang yang paling menderita. Di luar
sana, sangat banyak yang ingin bersekolah tapi mereka terbatas akan biaya. Aku
bersyukur dengan semua yang ku miliki saat ini
Keluarga, teman, cinta, dan kasih sayang dari mereka
adalah sebuah anugerah yang harus ku jaga sampai akhir hayat. Perbincanganku
dengan Aisah membuatku mendapat pengalaman yang amat luar biasa berharga
Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 15.17 sore,
Aisahpun ingin pergi melanjutkan dagangan nya yang masih banyak, melihat itu
membuatku tak tega memandang wajah Aisah yang lelah karena berdagang sejak pagi
tadi dan masih banyak gorengan yang belum terjual. Dengan inisiatifku, aku
menyuruh nya untuk membungkus semua gorengan nya “Aisah, gorengan nya bungkus
aja yah semua nya, kakak mau beli semua gorengan Aisah” pintaku pada Aisah, “Beneran kak?” muka nya kembali cerah dan senang
mendengar pernyataanku yang ingin membeli semua gorengan nya. “Beneran dong”
jawabku dengan melempar senyuman hangat padanya. Langsung saja Aisah mengambil
plastik besar dan membungkus semua gorengan nya, dan sekrang nampan yang
terlihat penuh menjadi kosong tak berisi “Ini kak, semua nya jadi Rp.24.000
kak” ia menyodorkan plastik yang penuh gorengan itu padaku.
Namun bukan uang Rp.24.000 yang aku berikan, dengan
sungguh hati yang ikhlas kuberikan uang Rp.300.000 padanya dan kuberikan kartu
namaku. “Ini kakak mau bagi rezeki sama Aisah, ini kartu nama kakak kalau Aisah
minta tolong, Aisah tinggal hubungin no yang ada di kartu nama itu aja yah”
Dengan tangan gemetar, Aisahpun mengambil uang dan kartu namaku, kulihat
matanya yang mengalir air mata kebahagiaan. Aku peluk Aisah ia pun menyambut
pelukan ku, dan aku katakan padanya “Aisah anak baik, rawat ibu Aisah baik-baik
yah, terus jangan lupa buat hubungin kakak”
“Terimakasih kak, terimakasih..”